Margie Untoro | Fashion & Sustainability
Margie Untoro bicara tentanga trend, personal style, dan sustainability
Sosok Margie Untoro sungguh berbeda dari citra editor majalah mode yang kerap digambarkan sebagai karakter dingin dan angkuh. Gaya berpakaiannya berkesan santai meskipun masih terlihat stylish. Rambutnya yang berwarna biru seakan menyiratkan sisi fun dalam dirinya, yang kemudian semakin dipertegas lewat candaannya dalam perbincangan kami. Kepada Urban Icon, Editor-in-chief majalah Dewi Margaretha Untoro yang lebih akrab disapa “Margie” ini bercerita tentang strateginya dalam memimpin majalah, pandangan tentang industri mode, serta gaya personalnya. Simak artikelnya di bawah ini.
Margie Untoro dan perjalanan karirnya
Mari sebentar menengok kembali ke masa lalu. Apakah Margie Untoro Punya kenangan khusus dengan majalah sehingga kemudian memutuskan bekerja di dunia majalah?
Sebenarnya, tidak pernah terpikir untuk kerja di majalah. Setelah lulus kuliah, sempat kerja di garment dan small retail boutique. Saat melihat-lihat lowongan kerja, ada kesempatan untuk jadi fashion stylist. Setelah apply, ternyata diterima. Dari situ berlanjut sampai sekarang. Tapi memang dari dulu, ibu dan paman saya memang suka membelikan majalah fashion luar negeri, seperti Vogue atau Dolly. Tidak menyangka juga akhirnya bekerja di majalah Dewi, karena dari dulu ibuku sudah jadi pembacanya. Pertama kali aku bekerja di majalah Seventeen Indonesia mulai tahun 2007 sampai dua tahun lamanya. Seru banget, sih. Fashion show pertama yang aku liput dulu itu Lenny Agustin di Four Seasons yang lama. Karena enggak dapat tempat duduk, aku duduknya di photographer pit. Habis itu aku kerja di majalah Cleo dari 2009 sampai 2014. Sempat berhenti sebentar untuk kerja di retail. Kemudian dua tahun lalu, aku diminta untuk take over majalah Dewi.
BACA JUGA: Cara Mix & Match Baju dan Aksesoris Warna Merah
Majalah Dewi baru saja merayakan hari jadinya yang ke-28. Dari eksistensinya selama hampir tiga dekade itu, apa saja yang sudah menjadi kontribusi majalah ini kepada dunia penerbitan, mode, dan gaya hidup di Indonesia?
Cukup banyak. Dewi itu pioneer, majalah premium lifestyle pertama di Indonesia. Sampai sekarang, masih satu-satunya majalah lokal yang bukan franchise. Founders kita, Bu Pia dan pak Sofyan, mendirikan Dewi 28 tahun yang lalu karena melihat market-nya ada. Kebetulan, waktu itu baru saja ada sebuah mal premium yang berdiri di pusat kota. Waktu Dewi akhirnya terbit, advertisers datang ke kita karena memang mereka butuh karena saat itu belum ada mediumnya. Ada juga beberapa kegiatan yang sudah dilakukan oleh Dewi sejak dulu, salah satunya adalah Concours Internationale des Jeunes Createurs de Mode, kompetisi internasional di Paris untuk desainer couture. Itu dulu kita yang bikin. Sejak Jakarta Fashion Week mulai berlangsung, Dewi juga berkontribusi lewat program Dewi Fashion Knights. Kami memilih ksatria-ksatria mode yang dianggap berpengaruh besar terhadap industri mode lokal.
Selama beberapa tahun belakangan di dalam industri media terjadi pergeseran format. Media cetak konvensional mulai beralih konsep menjadi digital. Bagaimana strategi Dewi untuk tetap bisa bertahan dan menjadi media yang relevan dengan zaman?
I’m not gonna lie. Memang cukup challenging, apalagi untuk mempertahankan brand legacy. Tapi kita mulai memperhatikan pengembangan platform digital. Kita mulai serius di website dan sosial media. Penting banget untuk bisa keep up dengan tren digital. Sekarang yang lagi kencang banget itu memang digital news kita. At the same time, kita tetap mempertahankan kualitas di print. Karena yang membedakan antara cetak dengan digital itu adalah kualitas konten. Kalau mengutip satu senior saya di dunia digital, “Digital itu isinya cukup remah-remah, rotinya itu adanya di cetak”. Tapi tetap semuanya saling melengkapi. Kita juga sadar pembaca format cetak dan digital itu berbeda. Dari segi pemakaian bahasa juga kita cukup memerhatikan. Kalau majalah cetak biasanya bahasa yang kita pakai cukup inggil, untuk bahasa versi digital lebih light. Kita juga sudah mulai memperbanyak kontel digital seperti video dan memerhatikan apa yang tengah jadi trending.
BACA JUGA: Cerita Asmara Abigail Tentang Akting dan Film
Perkembangan sosial media dengan kemunculan influencer cukup memengaruhi sektor gaya hidup selama beberapa tahun belakangan. Ada yang bilang peran influencer sebagai pembentuk opini mulai menggantikan media konvensional. Sebagai seorang editor majalah gaya hidup, bagaimana Margie melihat fenomena ini?
Menurut aku dengan adanya platform baru memang bisa memunculkan medium baru. Enggak masalah juga kalau mereka disebut new mediakarena memang kenyataannya seperti itu. Ditambah lagi, pengonsumsi berita zaman sekarang memang berbeda dengan yang ada di zaman dulu. Sekarang ini orang-orang lebih menyukai berita yang mudah dicerna. Kelebihan influencer juga bisa dilihat dari personal touch-nya. Influencer kan ada wajahnya, sedangkan kalau brand itu tidak ada wajahnya sehingga akan terasa lebih serius untuk beberapa orang. Kita sebagai media cetak agak kukuh juga dengan kualitas, konten, dan substance. Kita percaya kalau masih ada orang yang peduli dengan konten berkualitas akan tetap setia dengan media konvensional. Namun, kita tetap terbuka untuk berkolaborasi dengan influencer. Sekarang ini, sulit rasanya kalau harus berjalan sendiri-sendiri. Lagipula, influencer itu sama seperti celebrity. Kita sudah lama sering berkolaborasi dengan celebrity.
Belum lama ini berlangsung Jakarta Fashion Week (JFW) 2020. MajalahDewi merupakan bagian dari acara tersebut sejak pertama kemunculannya. Dari helatan yang berlangsung kemarin, kira-kira kecenderungan seperti apakah yang akan menjadi “besar” di tahun mendatang?
Saya melihatnya gaya genderless itu semakin prominent. Gaya utilitarian juga masih tetap jadi tren, tapi desainnya menjadi lebih ringkas dan glam. Dari segi warna, banyak label yang menggunakan warna cerah dan pastel. Yang paling prominent sih gaya gender bender dan unisex itu.
Margie Untoro dan fashion trend Indonesia
Apa ada label atau desainer baru yang patut diantisipasi oleh penikmat mode Tanah air?
Aku personally cukup memerhatikan label Tangan. Mereka punya style yang jelas dan kuat. Meskipun usianya sebagai fashion brand masih sebentar, mereka sudah punya loyal customer. Ada juga desainer Eri Dani yang menurutku punya banyak potensi.
Menurut Margie sebagai seorang pengamat mode, apa sesungguhnya kendala dalam industri mode lokal yang harus segera dibenahi?
Kalau ditanyakan kepada pelaku mode, pasti masalahnya masih seputar support system dari government. Dari tahun ke tahun, masalahnya masih tetap sama. Kedua, belum ada organisasi yang menaungi semua desainer secara kolektif. Yang sudah ada malah pecah karena masing-masing punya kepentingan pribadi. Kondisi ini jadinya kurang kondusif. Menurut saya, kalau mau kerja bareng tentu harus bisa lebih kompak lagi. Menurutku kalau dari segi desain, desainer kita sudah punya kemampuan yang cukup bagus kok. Lagipula, industri mode Indonesia masih terbilang muda. Perjalanannya masih akan panjang. Kita memang harus punya tolak ukur kalau kita harus bisa seperti Paris dan Milan. Tapi kita juga harus sadar kalau kota-kota itu bisa seperti sekarang setelah waktu yang lama.
Salah satu isu utama yang dihadapi oleh industri mode belakangan ini adalah masalah sustainability. Menurut Margie sebagai seorang pengamat mode, apa sesungguhnya tindakan yang bisa dilakukan oleh pelaku industri mode maupun konsumennya?
Menurutku ini seperti masalah “telur atau ayam yang muncul lebih dulu”. Masalah ini sebenarnya sudah sering dibahas, tapi kecenderungan yang ada malah akhirnya cuma jadi marketing jargon. Seharusnya, pemerintah juga bisa membantu mengatasi masalah ini. Tapi kita juga tahu enggak bisa mengandalkan semuanya karena pemerintah juga sudah punya banyak tugas. Dari sisi lain, label dan desainer harus lebih conscious lagi dalam memilih bahan. Mereka juga harus memperhitungkan lebih cermat jumlah produksinya sehingga nanti produknya enggak terlalu banyak yang restock. It’s a very complicated thing.
Menurutku sustainability itu nggak hanya dilihat dari penggunaan bahan. Kita juga harus melihat dari aspek pembuangan limbah pabriknya, lalu bagaimana proses panen bahan bakunya. Kita juga harus memerhatikan apakah pekerja di perkebunan itu dibayar dengan harga cukup baik atau tidak. Memang terlalu kompleks dan butuh proses panjang. Kalau di luar negeri, sudah ada brand seperti Ikea yang peduli dengan proses sustainability dari hulu ke hilir dalam proses produksi barangnya. Kalau di sini, sepertinya masih butuh waktu yang panjang.
Menurut pandanganku juga, harus dikembalikan lagi kepada konsumennya. Kalau konsumen masih gila belanja juga, akan sulit mengatasi masalah sustainability ini. Sebagai majalah mode, Dewi akan terus berusaha mendidik konsumen dan desainer mengenai masalahsustainability ini. Kita sudah sering menulis artikel tentang itu. Kita juga ingin pembaca lebih memperhatikan kualitas barang dalam berbelanja.
Gaya mode dari era apa yang menjadi favorit Margie Untoro?
Era tahun ‘20-an. Gaya glam-nya betul-betul menarik. Waktu itu busana wanita juga jadi lebih rileks. Aku suka element of freedom yang terlihat dari gaya busana masa itu.
Siapa fashion icon yang Margie kagumi?
Selalu berganti-ganti, sih. Dulu aku suka banget Miroslava Duma. Gayanya dia sangat cool dan selalu terlihat effortless chic.
Apa tren mode yang seharusnya tidak pernah ada?
It’s all about perspective. Dulu aku selalu menganggap big shoulder kelihatan hideous. Tapi setelah tren itu kembali dengan sedikit perbaikan yang lebih refined, aku menganggapnya bagus juga. Ada satu hal yang dari dulu sampai sekarang enggak bisa aku terima, yaitu clog. Walaupun branded dan mahal tetap saja itu clog. Aku juga kurang suka tren ugly sneakers, mungkin karena enggak cocok untukku.
BACA JUGA: Seniman Muda Bertalenta, Talitha Maranila
Her personal style
Image source: @margieuntoro
Mari kita membahas soal personal style. Bagaimana Margie Untoro mendeskripsikan gaya pribadimu?
Menurutku, gaya berpakaianku itu laid back. Orang-orang di sekitar juga banyak yang berkomentar kalau gayaku itu santai. Semakin ke sini, aku semakin memerhatikan faktor kenyamanan. Gayaku selalu ada unsur feminin, walaupun aku kadang juga suka bergaya androgini. Tapi dalam berpakaian sehari-hari aku juga suka memerhatikan agenda pada hari itu. Kalau hanya di kantor, aku biasa memakai pakaian santai. Kalau ada acara yang harus dihadiri, aku akan berpakaian lebih formal.
Mana yang Margie perhatikan dalam memilih aksesori, desain atau fungsi?
Dulu, aku sangat memerhatikan desain. Kalau sekarang, aku lebih memerhatikan fungsi.
Apa ada aksesori tertentu yang jadi obyek koleksimu?
Aku suka banget sepatu. Tapi sekarang ini karena sudah sadar masalah sustainability jadi mulai jarang membelinya. Aku juga suka rings dan necklace. Kalau soal belanja, aku enggak terlalu kekeuh untuk mendapatkan barang yang aku mau, sih. Aku lebih suka belanja barang yang memang ada di depanku. Kalau enggak dapat barang yang benar aku suka, I’m going to take it as a blessing in disguise. Mungkin itu jadi pertanda kalau aku lagi enggak boleh keluar uang.
Jika bisa mendapatkan kesempatan dibuatkan pakaian made-to-order oleh seorang desainer, kira-kira siapa desainer yang akan Margie pilih?
Kalau desainer internasional, aku ingin banget dibuatkan baju sama Haider Ackermann. Menurutku, rancangan dia keren dan ada unsur orientalnya. Selalu ada elemen rebel-nya namun tetap kelihatan glam. Kalau desainer lokal, aku suka Sapto Djojokartiko dan Toton. Walaupun gaya rancangan mereka feminin banget, aku penasaran banget ingin tahu bagaimana mereka menerjemahkan gaya seorang Margie dalam rancangannya.
Holiday style
Image source: @margieuntoro
Akhir tahun identik dengan waktu untuk berlibur. Bicara soal liburan, apa destinasi impian yang ingin sekali Margie Untoro kunjungi?
India, dari dulu aku suka banget sama warna-warni kotanya. Karena aku suka banget yoga, jadi aku ingin ke Mysore untuk belajar lebih dalam tentang yoga. Aku juga ingin berkeliling ke kota-kota yang ada di sana.
Akhir tahun juga penuh momen istimewa yang bisa dirayakan dengan memberi hadiah kepada orang-orang terkasih. Kalau bisa memberikan rekomendasi untuk pembaca Urban Icon, apa saja hadiah yang cocok untuk diberikan kepada orang terdekat?
Kalau untuk ayah, mungkin kamu bisa memberikan dompet kartu nama, gantungan kunci, passport cover, atau jam tangan pria. Kalau untuk sahabat, aku biasanya lebih suka membuatnya sendiri. Aku suka banget cooking, jadi aku suka kasih homemade granola atau homemade jam kepada mereka. Kalau memberikan hadiah barang, aku suka memerhatikan apakah barang itu benar-benar dipakai sama mereka. Kalau untuk pria yang sedang dekat, kamu bisa memberikan parfum, dompet, atau tas. Kalau mau hadiah yang lebih praktis, kamu bisa memberikan voucher untuk massage atau menginap di hotel.